Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
6/Pid.Pra/2023/PN Blb ANDRI SUSANTO, S.Sos KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEKTOR MARGAASIH Cq KEPALA UNIT RESERSE KRIMINAL Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 28 Nov. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
Nomor Perkara 6/Pid.Pra/2023/PN Blb
Tanggal Surat Selasa, 28 Nov. 2023
Nomor Surat ---
Pemohon
NoNama
1ANDRI SUSANTO, S.Sos
Termohon
NoNama
1KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEKTOR MARGAASIH Cq KEPALA UNIT RESERSE KRIMINAL
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
1.Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
2.Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :------------------------------------------
1)“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:---
2)Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
3)Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;------------------------
4)Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
3.Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diantaranya adalah:
 
 
 
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:-------------------------
1)sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2)ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”-----------------------
4.Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata- nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang- wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.------------------------------------------
5.Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :--------------------------
1)Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01 / Pid . Prap / 2011 / PN . BKY tanggal 18 Mei 2011;
2)Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK / PID / 2011 tanggal 17 Januari 2012;
3)Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38 / Pid . Prap / 2012 / PN
. Jkt . Sel tanggal 27 november 2012;
4)Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04 / Pid . Prap / 2015 / PN
. Jkt . Sel tanggal 15 Februari 2015;
5)Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36 / Pid . Prap / 2015 / Pn
. Jkt . Sel tanggal 26 Mei 2015;
6)Dan masih banyak lagi.
 
 
 
6.Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal
28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili, Menyatakan :
1)Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :--------------------------------------
[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;----------------------------------
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;---------
7.Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.----------------------------------------
8.Bahwa berdasarkan putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI atas permohonan uji materi nomor perkara 130/PUU-XIII/2015. "Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan".
B.FAKTA-FAKTA HUKUM
1.Bahwa pada tanggal 08 September 2023 sehubungan laporan yang dilakukan oleh Pelapor bernama Sdri. AYU ANASTHASIA GANDAATMADJA atas dugaan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan/atau penganiayaan yang dituduhkan kepada PEMOHON sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Lingkup Rumah Tangga J.o 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) di Kepolisian Sektor Margaasih, Polres Cimahi, Polda Jawa Barat hal itu berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP. B/44/IX/2023/SPKT/Polsek Margaasih/Polres Cimahi/Polda Jabar. ---------------------------------------------
 
 
 
2.Bahwa pada tanggal 01 November 2023 adanya surat perintah penangkapan Kepolisian Sektor Margaasih, Polres Cimahi, Polda Jawa Barat, dengan Nomor B/31.a/XI/2023/Reskrim tertanggal 1 November 2023 perihal Pemberitahuan Penangkapan PEMOHON. Terkait dengan dugaan Tindak Pidana Kekerasan dalam Lingkup Rumah Tangga dan/atau Penganiayaan (Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Jo Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana dituduhkan kepada PEMOHON.-------------------
3.Bahwa pada tanggal 1 November 2023 sekiranya pukul 16.00 WIB diruang Reskrim Kepolisian Sektor Margaasih, Polres Cimahi, Polda Jawa Barat. PEMOHON diperiksa untuk memberikan keterangan terkait dengan dugaan Tindak Pidana Kekerasan dalam Lingkup Rumah Tangga dan/atau Penganiayaan sebagaimana dituduhkan kepada PEMOHON.--------------------
4.Bahwa pada tenggal 02 November 2023 sesuai dengan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Sektor Margaasih, Polres Cimahi, Polda Jawa Barat dengan Nomor B/31.b/XI/2023/Reskrim tertanggal 2 November 2023 telah terjadi penangkapan dan penahanan kepada PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON. Sehubungan dengan penangkapan dan penahanan yang terjadi maka kami menduga adanya penyimpangan dalam proses penahanan dan penangkapan yang dilakukan oleh TERMOHON adalah sebagai berikut:-------------------------------------------
4.1Bahwa sebagaimana Pasal 27 ayat (3) Perkapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Jo. Perkabareskrim Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana, Pemanggilan untuk PEMOHON disampaikan dengan memperhitungkan tenggang waktu yang cukup paling lambat 3 (tiga) hari sudah diterima sebelum waktu untuk datang memenuhi panggilan.
4.2Bahwa dalam menjalankan Tugas dan Tanggungjawabnya TERMOHON sepatutnya memperhatikan Pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara : --------------------
“Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penanganan perkara serta pelaksanaan penyidikan perkara tindak pidana di lingkungan tugas kepolisian menggunakan asas-asas sebagai berikut:---------------
a)legalitas, yaitu setiap tindakan penyidik senantiasa berdasarkan peraturan   perundang-undangan;------------------------------------
b)proporsionalitas, yaitu setiap penyidik melaksanakan tugasnya sesuai legalitas kewenangannya masing-masing;--------------------
c)kepastian hukum, yaitu setiap tindakan penyidik dilakukan untuk menjamin tegaknya hukum dan keadilan;------------------------------
d)kepentingan umum, yaitu setiap penyidik Polri lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi dan/atau golongan;
 
 
 
e)akuntabilitas, yaitu setiap penyidik dapat mempertanggungjawabkan tindakannya secara yuridis, administrasi dan teknis;
f)transparansi, yaitu setiap tindakan penyidik memperhatikan asas keterbukaan dan bersifat informatif bagi pihak-pihak terkait; ------
g)efektivitas dan efisiensi waktu penyidikan, yaitu dalam proses penyidikan, setiap penyidik wajib menjunjung tinggi efektivitas dan efisiensi waktu penyidikan sebagaimana diatur dalam peraturan ini;
h)kredibilitas, yaitu setiap penyidik memiliki kemampuan dan keterampilan yang prima dalam melaksanakan tugas penyidikan;”
4.3Bahwa jika mengacu kepada Pasal 2 vide point (b) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara yang berbunyi :.-
b) “proporsionalitas, yaitu setiap penyidik melaksanakan tugasnya sesuai legalitas kewenangannya masing-masing;”-------------------
4.4Bahwa dalam hal ini kami berpendapat TERMOHON tidak berwenang untuk melakukan penangkapan dan/atau penahanan. Dengan alasan bahwa TERMOHON (Kepolisian Sektor Cijeruk, Polres Cimahi, Polda Jawa Barat) tidak memiliki unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) dan seharusnya melimpahkan perkara ini kepada satuan diatasnya yang memiliki unit perlindungan perempuan dan anak (PPA). Dikarenakan menurut pendapat kami yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum terkait permasalahan ini adalah unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi:.-
“Unit PPA bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya.”-------------------------------
4.5Bahwa lebih lanjut mengenai kewenagan dan ruang lingkup unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) diatur dalam Pasal 6 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi :-
(3) “Lingkup tugas Unit PPA meliputi tindak pidana terhadap perempuan dan anak, yaitu ;
perdagangan orang (human trafficking), penyelundupan manusia (people smuggling), kekerasan (secara umum maupun dalam rumah tangga), susila (perkosaan,pelecehan, cabul), vice (perjudian dan prostitusi), adopsi ilegal, pornografi dan pornoaksi, money laundering dari hasil kejahatan tersebut di atas, masalah perlindungan  anak  (sebagai  korban/tersangka),  perlindungan
 
 
 
korban, saksi, keluarga dan teman serta kasus-kasus lain dimana pelakunya adalah perempuan dan anak. -------------------------------
5.Bahwa pada tanggal 02 November 2023 Kuasa Hukum mengirimkan Surat Permohonan Penangguhan Penahanan kepada Kepala Kepolisian Sektor Margaasih dan diteruskan Surat Permohonan Tindak Lanjut atas Surat Permohonan Penangguhan Penahanan yang kami kirimkan kepada Kepala Kepolisian Sektor Margaasih tertanggal 09 November 2023, akan tetapi sampai dengan Permohonan Praperadilan ini kami kirimkan PEMOHON belum mendapat kepastian hukum. Adapun Permohonan Penangguhan Penahanan terhadap PEMOHON kami berpedoman pada : ----------------------
Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana:
“Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.”---------------------------------------
Bahwa kami berpendapat terkait dengan terkait dengan Penangguhan Penahanan ini menjadi hak yang dapat diajukan oleh klien kami baik dengan jaminan atau tanpa jaminan sesuai dengan Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sehingga sudah sepatutnya kami mengajukan surat permohonan penangguhan penahanan untuk PEMOHON. --------------------------------------
6.Bahwa dari semua panggilan yang diterima PEMOHON di saat menghadiri ke Kantor TERMOHON, PEMOHON diperintahkan untuk melakukan musyawarah dengan Pelapor Sdri. AYU ANASTHASIA GANDAATMADJA.------
7. Bahwa didalam Surat Perintah Penangkapan yang memiliki irah-irah “PRO JUSTITIA”, kami menyepakati bahwa perbuatan TERMOHON telah memasuki wilayah Penyidikan, hal itu berdasarkan Pasal 112 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan dengan adanya Surat Perintah Penangkapan tersebut pula, kami meyakini berdasarkan hukum bahwa TERMOHON tidak ada proses Penyelidikan terlebih dahulu.--------------------
8. Bahwa berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Perkapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, TERMOHON seharusnya telah membuat dan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) setelah terbitnya Surat Perintah Penyidikan. Akan tetapi, sampai saat ini PEMOHON belum menerima SPDP tersebut dari TERMOHON.
6. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor:130/PUU- XIII/2015 tanggal 28 April 2015, bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) merupakan salah satu poin administratif yang sangat penting di dalam proses Penyidikan, sehingga sudah seyogyanya PEMOHON mendapatkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tersebut.-
C.ANALISIS YURIDIS
1.Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s.d. Pasal
83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah suatu
 
 
 
lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan atau upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;-----------------------
2.Bahwa pengajuan Permohonan Praperadilan oleh PEMOHON didasarkan kepada Bab X Bagian Kesatu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Bab XII Bagian Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaga Praperadilan sebagai sarana untuk melakukan kontrol atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum seperti Penyelidik, dan/atau Penyidik. Pengawasan horizontal dalam kegiatan penyelidikan dan / atau penyidikan sangat penting, dikarenakan aparat penegak hukum dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seorang manusia. Oleh karena itu, praperadilan ini diperlukan sebagai upaya hukum untuk mencegah agar aparat penegak hukum tidak melakukan kesewenang- wenangan dalam menggunakan kewenangannya (abuse of power);-------------
3.Bahwa TERMOHON sebagai aparat penegak hukum, tidak menerapkan konsep due process of law dengan benar sebagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sampai peraturan internal Kepolisian Republik Indonesia. TERMOHON tidak mengejewantahkan proses penyelidikan dan gelar perkara sebelumnya, sehingga langsung melakukan penyidikan langsung, seakan perkara yang ditanganinya adalah perkara prioritas, fakta nya yang ditangani hanyalah perkara aduan relatif. Sangat wajar apabila PEMOHON mengajukan praperadilan atas perbuatan TERMOHON yang sudah tidak mencerminkan aparat penegak hukum yang memiliki visi “Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong”.(TERMOHON telah mencederai visi-visi nya sendiri oleh perlakuan-perlakuan yang inkonstitusional).---------------------------------------
4.Bahwa menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.H., mengatakan bahwa: ”Negara menjalankan kekuasaannya melalui aparatur yang notabene adalah manusia yang bisa benar dan bisa salah dalam bertindak, bahkan bisa juga menyalahgunakan wewenang yang ada pada dirinya. Hubungan negara dengan warganya dalam penegakan hukum adalah seimbang. Itulah semangat amandemen UUD 1945 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kita bukan lagi hidup di zaman kolonial di mana posisi negara lebih kuat dari warganya. Ini pula makna dari due process of law, artinya proses penegakan hukum yang benar dan adil, bukan atas dasar stigma apalagi kebencian terhadap warga yang belum tentu bersalah atas sesuatu yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya” kata Yusril di Jakarta dalam wawancaranya di Aktual.co, Kamis (26/2/2019).----------------------------------
 
 
 
5.Bahwa vide point 4, dimaksudkan bahwa aparat penegak hukum juga bisa melakukan kesalahan yang kemudian mengakibatkan kerugian yang nyata terhadap diri orang lain. Sehingga tepat pengawasan horizontal ini dialamatkan kepada TERMOHON yang diduga keras telah melakukan mal- administrasi dalam criminal justice system.------------------------------------------
6.Bahwa merujuk amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 28 April 2015, berbunyi antara lain :-----
“Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai“ penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
7.Bahwa berdasarkan Pasal 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Terpublik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang berbunyi :
(1) “SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan”.-----------------
8.Bahwa ketika penyidikan tidak disertai dengan adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), secara otomatis penyidikan akan berjalan tanpa adanya Check and Balances dari penuntut umum dan tentunya bertentangan dengan pula dengan prinsip transparansi penyidikan. Ketiadaan Check and Balance antara penyidik dan penuntut umum dalam tahap penyidikan akan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik dalam melaksanakan kewenangannya. Penggunaan kewenangan penyidik yang tidak terkontrol adalah bertentangan dengan nilai due process of law sebagai dasar criminal policy di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena salah satu nilai yang terkandung dalam due process of law ialah adanya konsep pembatasan wewenang secara formal, yang dimaksudkan agar dalam setiap proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum, karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara;--------------
9.Bahwa menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum” dan menurut Pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
 
 
 
Ketentuan kedua UUD 1945 ini bermakna bahwa hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat”;-
10.Bahwa dalam praktik hukum, Praperadilan harus diartikan sebagai upaya pengawasan terhadap penggunaan wewenang oleh penyidik untuk menjamin agar tidak terjadi penyimpangan terhadap hukum acara (prosedur) yang mengarah pada abuse of power sehingga akan berdampak pada terlanggarnya hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum atas nama penegakan hukum;
11.Bahwa dikeluarkanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (“Sprindik”) adalah pintu masuk menuju penetapan sebagai tersangka serta untuk melakukan upaya-upaya paksa yang lain seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan sehingga sesuai putusan Mahkamah Kosntitusi, maka mutatis mutandis bahwa tidak dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dapat menjadi objek Praperadilan;-----------------------------
12.Bahwa padahal, hakikat keberadaan pranata Praperadilan adalah bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Bagaimana mungkin perlindungan tersebut dapat dicapai apabila tidak ada prinsip “equal arms” di dalam proses penegakan hukum pidana. Karena filosofinya, suatu perkara pidana adalah perkara antara warga negara yang lemah melawan negara dengan segala perangkatnya yang dapat menangkap, menahan, menyita dan melakukan segala upaya paksa atas nama penegakan hukum;
13.Bahwa seyogyanya peningkatan status perkara dari “Penyelidikan” kepada “Penyidikan” haruslah dibarengi dengan mekanisme untuk melakukan check and balance. Di dalam system acara pidana inquisitorial, seperti juga yang diadopsi oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), keseimbangan menjadi hal yang sangat mutlak. Karena keadilan hanya dapat didapat apabila memenuhi kriteria- kriteria prosedural tertentu. Di dalam sistem inqusitorial yang modern, naiknya proses pre-investigation kepada investigation haruslah melalui persetujuan lembaga pengawas, yang disebut dengan examining magistrate untuk mempersempit ruang subjektivitas penyidik, yang pada akhirnya dengan tujuan meminimalisir segala potensi pelanggaran hak asasi manusia. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kriteria prosedural tersebut tidak diatur sehingga potensi pelanggaran hak asasi manusia terhadap suatu penegakan hukum teramat besar. Hal demikian juga ditegaskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUUXII/2014. ---------------------------------------
D.KEWAJIBAN PENYIDIK UNTUK MEMBERIKAN SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP)
 
 
 
1.Bahwa merujuk amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 28 April 2015, berbunyi antara lain :-----
“Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai“ penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
2.Bahwa dalam Pasal 109 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:
(1)“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
(2)Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.----------------
(3)Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.”
E.PENYIDIKAN TERMOHON MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG- WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM.
Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya kita semua tunduk terhadap Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.--------------------
Bahwa TERMOHON sudah melenceng dari keadilan administratif, dengan lantang mendustasi Kitab Undang-Undang Hukum cara Pidana khususnya Pasal 5, 6, 7 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). TERMOHON pun tidak mengindahkan peraturan internalnya untuk menerapkan criminal justuce system, adapun peraturan yang dimaksud adalah Perkap No. 14 Tahun 2012
 
 
 
tentang Manajmen Penyidikan Tindak Pidana dan / atau Perkabareskrim No. 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2014.
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum.
Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.------
Menurut Sudikno Mertukusumo, “kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang- undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.”--------------
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang esensial, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktive atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.--------------------
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).-
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga  tindakan  dimaksud  bertentangan  dengan  ketentuan  Peraturan
 
 
 
Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi:
–ditetapkan oleh pejabat yang berwenang ----------------------------------------------
–dibuat sesuai prosedur; dan
–substansi yang sesuai dengan objek Keputusan. ------------------------------------
Bahwa sebagaimana telah PEMOHON uraikan diatas, bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) TERMOHON tidak pernah dilakukan, sehingga tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan- perundang undangan yang berlaku.
Maka berdasarkan hal-hal diatas, kami memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas 1A yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut :-----------------------
1)Menerima dan mengabulkan Permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;----
2)Menyatakan tidak sah proses penyidikan TERMOHON;--------------------------
3)Menyatakan tidak sah semua surat penangakapan yang di sampaikan kepada
PEMOHON;
4)Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan Penyidikan terhadap PEMOHON sesuai Laporan Polisi yang diterbitkan oleh TERMOHON dengan Nomor: LP.B/ 44 / IX / 2023 / SPKT / Polsek Margaasih / Polres Cimahi /Polda Jabar berdasarkan laporan tertanggal 08 September 2023;--
5)Menghukum TERMOHON untuk membayar ganti kerugian material sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan kerugian immaterial sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah);
6)Memulihkan hak-hak PEMOHON, baik dalam kedudukan, kemampuan harkat serta martabatnya ke sedia kala;---------------------------------------------
7)Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya Perkara yang timbul dalam perkara a quo.
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas 1A yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan sejati.------------------------------------------------
Atau jika Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas 1A yang memeriksa berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pihak Dipublikasikan Ya