Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2023/PN Blb RYAN BL DE ROZARY SAT RESKRIM UNIT TIPITER POLRES CIMAHI Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 17 Jan. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2023/PN Blb
Tanggal Surat Selasa, 17 Jan. 2023
Nomor Surat ---
Pemohon
NoNama
1RYAN BL DE ROZARY
Termohon
NoNama
1SAT RESKRIM UNIT TIPITER POLRES CIMAHI
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

I.DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

a.Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi, menurut ANDI HAMZAH (1986 : 10) peradilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang – wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka / terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara hirizontal terhadap hak – hak tersangka / terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan ( vide penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati – hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

b.Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini, tentang :

 


1, Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka :

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan ;

3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
  
c.Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah :

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini tentang ;

1.Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;
2.Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

d.Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo, Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata – nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperolaeh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat miminimalisasi terhadap perlakuan sewenang – wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara manapun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) SATJIPTO RAHARJO disebut “ terobosan hukum” (legal breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut MOCHTAR KUSUMAATMADJA merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai – nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 


e.Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak – hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut ;

1.Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01 / Pid.Prap / 2011 / PN.BKY tanggal 18 Mei 2011.
2.Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK / PID / 2011 tanggal 17 Januari 2012.
3.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38 / Pid. Prap / 2012 / Pn. Jkt, Sel tanggal 27 November 2012.
4.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04 / Pid. Prap / 2015 / PN. Jkt. Sel tanggal 15 Februari 2015.
5.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36 / Pid. Prap / 2015 / Pn. Jkt. Sel tanggal 26 mei 2015.
6.Dan lain sebagainya.

f.Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konsitusi No. 21 / PUU-XII / 2014, tanggal 28 april 2015, memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan Putusan Mahkamah Konsitusi No. 21 / PUU-XI / @014 sebagai berikut :
 
Mengadili,
Menyatakan ;
1.Mengabulkan permohonan untuk sebagian ;
. (dst)
. (dst)
. Pasal 77 huruf a, Undang – Undang Nomor.8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Repbublik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan ;
. Pasal 77 huruf a Undang – Undang nomor 8 Tahun 1981tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tanbahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan tersangka, Penggeledahan dan penyitaan ;

g.Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konsitusi No. 21 / PUU-XII /2014 tanggal 28 April 2015, bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konsitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

II.ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN.

1.PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA.

1.Bahwa melalui putusan Mahkamah Konsitusi (MK) bernomor 21 / PUU-XI / 2014. MK mangabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konsitusi menyatakan Inkonsitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”,         ” bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAPsepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan Inkonsitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

2.Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. 

3.“Frasa bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”, dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (10 KUHAP harus ditafsirkan sekurang – kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia)”.

4.Mahkamah menganggap syaratminimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka, telah dapat menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

5.Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada surat Panggilan untuk pertama kali dan satu – satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai tersangka oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon, kepada Pemohon dengan Nomor : S. Pgl. / 945 / XI / 2022 / Reskrim, tertanggal 28 November 2022, tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Bahwa pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada saat setelah ditetapkan sebagai tersangka yakni tanggal 01 Desember 2022.


6.Bahwa untuk itu berdasar pada Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) bernomor 21 / PUU-XI / 2014 Frasa ‘bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Unit Tipiter Sat Reskrim Polres Cimahi.

7.Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

2.TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON.

1.Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor : S. Pgl. / 945 / XI / 2022 / Reskrim, tertanggal 28 November 2022, Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan Penyelidikan dan Penyidikan.

2.Bahwa dalam hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan menurut YAHYA HARAHAP, SH, , dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP ; Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyelidikan”, akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

3.Lebih lanjut, YAHYA HARAHAP menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian”tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti – bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

4.YAHYA HARAHAP (Ibid, hal.102) juga menyatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus terlebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

5.Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri Pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

3.PEMOHON TIDAK PERNAH MENERIMA SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP).

1.Bahwa sejak awalnya proses Penyidikan yang dilakukan oleh Sat Reskrim Unit Tipiter Polres Cimahi, sudah terlihat adanya kejanggalan dan pemaksaan perkara yaitu, Pemohon tidak pernah sekalipun menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), yang termuat sesuai Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981, Pasal 109 ayat (1) Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

2.Bahwa SPDP tersebut disampaikan oleh penyidik kepada penuntut umum guna menjamin penerapan fungsi pengawasan perkara yang dimilikiPenuntut Umum. Melalui Putusan Nomor 130 / PUU- XIII / 2015 Mahkamah Konsitusi menyatakan Frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” inskonsitusional bersyarat sehingga SPDP menjadi wajib diserahkan kepada Penuntut Umum, Terlapor dan Korban / Pelapor paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkan surat perintah penyidikan.

3.Bahwa dalam prakteknya Pemohon tidak pernah menerima bukti fisik SPDP tersebut dari Termohon, sebab dalam praktiknya penerapan pasal ini masih jauh dari harapan sebagaimana yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut.

 

4.Bahwa pada saat Kuasa Hukum Pemohon menanyakan tentang SPDP yang merupakan kewajiban Termohon untuk menyerahkan kepada Pemohon atau Kuasa Hukum Pemohon, Termohon hingga saat ini tidak pernah menyerahkan kepada Kuasa Pemohon, hal tersebut merupakan bentuk kesewenang wenangan dan ketidak profesionalan Termohon dalam me;aksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penyidik. Hal tersebut sesuai dengan pengertian Penyelidikan dan penyidikan yang diatur dalam KUHAP.

4.BAHWA TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

a.Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan dugaan Pelanggaran Undang – Undang RI, Nomor 19 Tahun 2016, tentang  Informasi Dan Transaksi Elektronik, Pasal 48 ayat (1) dan atau ayat (3) jo Pasal 32 ayat (1) dan atau ayat (3) dan atau Pasal 322  KUHPidana, adalah tidak berdasar, sebab bukti – bukti yang disangkakan oleh Termohon kepada Pemohon adalah tidak tepat, sebab tidak dapat menunjukkan bahwa rekaman hasil zoom meeting yang dilakukan oleh pihak pelapor, bukanlah merupakan suatu hal yang rahasia ataupun bersifat pribadi karena semua orang dapat mengakses zoom meeting pada hari Jumat, tanggal 24 Juni 2022 tersebut secara live atau siaran langsung.

b.Bahwa Pemohon juga mendownload rekaman zoom meeting tersebut diambil dari group  Whatsapp yang memposting pertama, namun Pemohon tidak tahu siapa yang pertama kali memposting zoom meeting tersebut kedalam group Whatsapp dan pemohon tidak menyebarkan postingan zoom meeting tersebut.

c. Bahwa pada kenyataannya seharusnya Termohon meminta pendapat ahli – ahli yang berkompeten dalam hal dugaan Pelanggaran Undang – Undang RI, Nomor 19 Tahun 2016, tentang  Informasi Dan Transaksi Elektronik, Pasal 48 ayat (1) dan atau ayat (3) jo Pasal 32 ayat (1) dan atau ayat (3) dan atau Pasal 322  KUHPidana, oleh  Sat Reskrim Unit Tipiter Polres Cimahi.

d.Bahwa Kuasa Hukum Pemohon pada saat mendampingi Pemohon, juga menanyakan dasar – dasar penerapan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Pemohon, namun Termohon tidak dapat membuktikannya.

e.Bahwa postingan yang ada didalam Group Whatsapp tersebut, sebelum Pemohon menonton langsung, sebelumnya ternyata sudah ditonton oleh ratusan orang yang ada didalam Group Whatsapp tersebut, namun ternyata Termohon tidak pernah memanggil orang – orang yang ada didalam group tersebut sebagai saksi.


f.Bahwa Pemohon menganggap Termohon terlalu prematur dalam menetapkan tersangka kepada Pemohon, sebab diluar sana ternyata sudah banyak orang yang menyebarkan dan merubah Postingan zoom meeting tersebut dan membagikannya kepada group Whatsapp masing – masing.

g.Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konsitusi dengan Nomor Perkara 21 / PUU- XII / 2014 Frasa “bukti permulaan”, Frasa “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konsitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.

h.Bahwa berdasar pada argument – argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan dugaan Pelanggaran Undang – Undang RI, Nomor 19 Tahun 2016, tentang  Informasi Dan Transaksi Elektronik, Pasal 48 ayat (1) dan atau ayat (3) jo Pasal 32 ayat (1) dan atau ayat (3) dan atau Pasal 322  KUHPidana, oleh  Sat Reskrim Unit Tipiter Polres Cimahi.

i.Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan termohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Konsitusi dengan nomor Perkara 21 / PUU-XII / 2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum yang berlaku di negara ini.

j.Bahwa fakta yang terjadi ternyata Pelapor  bukanlah  pihak yang dirugikan atau yang berhubungan langsung dengan Pemohon atau yang berhubungan langsung dengan situasi pada saat terjadinya zoom meeting tanggal 24 Juni 2022. Patut diduga Pelapor adalah orang yang tidak mengetahui permasalahan yang sebenarnya atau tidak memahami perkara yang sebenarnya.

5.ADANYA BEBERAPA KEJANGGALAN PROSES HUKUM YANG DILAKUKAN TERMOHON DALAM MENETAPKAN TERSANGKA KEPADA PEMOHON.

1.Bahwa sejak awal adanya penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon kepada tersangka adalah terdapat banyak kejanggalan – kejanggalan yaitu pada hari Kamis  tanggal 1 Desember 2022, setelah Pemohon dalam kapasitasnya diundang sebagai Tersangka, ternyata langsung ditahan oleh Termohon di Polres Cimahi, tanpa adanya bukti surat penahanan yang wajib diserahkan Termohon kepada Pemohon atau Kuasa Hukum Pemohon atau Keluarga Pemohon. 

2.Bahwa  atas perintah Kanit Tipiter IPTU TONO LISTIANTO, STK, SIK,M.H. Kuasa Pemohon yang mendampingi Pemohon pada saat itu ingin menemui Kanit Tipiter Sat Reskrim Polres Cimahi, namun yang bersangkutan tidak bersedia menemui Kuasa Hukum Pemohon  tanpa alasan yang jelas.

3.Bahwa oleh karena Kanit Tipiter tidak bersedia menemui Kuasa Hukum Pemohon, akhirnya Kuasa Hukum Pemohon berusaha untuk menemui KBO Sat Reskrim Polres  Cimahi, IPTU AHMAT SAEFUDIN. Berdasarkan arahan KBO Sat Reskrim, agar Kuasa Hukum Pemohon membuatkan surat permohonan untuk tidak ditahan, yang ditujukan kepada Kapolres Cimahi dan Kasat Reskrim Polres Cimahi.

4.Bahwa kemudian Kuasa Hukum Pemohon langsung membuat surat permohonan untuk tidak ditahan dan langsung diserahkan kepada KBO Sat Reskrim Polres  Cimahi, IPTU AHMAT SAEFUDIN, sebab Kasat Reskrim pada waktu itu lagi melaksanakan Umroh ke tanah suci Mekah. Pada saat itu KBO Sat Reskrim Polres  Cimahi, IPTU AHMAT SAEFUDIN berjanji akan menghubungi Kuasa Hukum Pemohon, besok paginya tanggal 02 desember 2022.

5.Bahwa ternyata pada saat Kuasa Hukum Pemohon besoknya menanyakan prihal permohonan untuk tidak ditahan sesuai arahan KBO Sat Reskrim Polres  Cimahi, IPTU AHMAT SAEFUDIN, ternyata dijawab oleh yang bersangkutan ditolak tanpa dapat menunjukkan penolakan secara tertulis dari atasan atau pimpinan Sat Reskrim Polres Cimahi.

6.Bahwa  setelah Kuasa Hukum Pemohon mengajukan kembali permohonan surat Penangguhan penahanan, hingga sampai saat ini pihak Termohon tidak pernah menjawab permohonan Kuasa Hukum Pemohon, yang sudah memenuhi aturan yang di tertuang dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP, yaitu “Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenanganmasing – masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminanuang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan”.

7.Bahwa hal – hal yang tidak sesuai dengan aturan yang dilanggar oleh Termohon adalah termasuk dalam Pasal 70 ayat (1) KUHAP, “Penasehat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya”.

 

 

8.Bahwa kejanggalan yang paling terasa dialami oleh Pemohon dan Kuasa Hukum Pemohon adalah sejak tanggal 01 Desember 2022, dengan penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon, hingga saat ini, Kuasa Hukum Pemohon tidak diperkenankan untuk bertemu dengan Pemohon, tanpa alasan yang jelas dari Termohon.

9.Bahwa sudah keempat kalinya Pemohon untuk bertemu dengan Kuasa Pemohon, tanggal 06, 15, 20, dan terakhir tanggal 29 Desember 2022, namun selalu ditolak oleh Termohon hingga saat ini tanggal 04 Januari 2022, tidak sekalipun Pemohon dapat menemui Kuasa Hukum Pemohon.

10.Bahwa hingga saat ini Pemohon atau Kuasa Hukum Pemohon atau keluarga Pemohon, belum pernah menerima SP2HP, dari Termohon berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009, Pasal 39 ayat (1), tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 
6.PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG – WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM.

1.Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konsitusinya (UUD 1945 Pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat – perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.

2.Bahwa sudah umum bilaman kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semenjak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian hukum itu sendiri. Dari keteraturan  akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. 

3.Menurut SUDIKNO MERTUKUSUMO kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang – undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan – aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

4.OEMAR SENO ADJI, menentukan prinsip “legality” merupakan karateristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law” konsep, maupun oleh paham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”.

5.Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan / Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan peyalahgunaan wewenang. Yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang – wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang – undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut SJACHRAN BASAH “ abus de droit” (tindakan sewenang – wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang – undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiman tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

6.Bertindak sewenang wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya  dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang – undangan, Peyalahgunaan wewenang juga diatur dalam Pasal 17 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014  tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya Keputusan, yakni meliputi :

a.Ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang.
b.Dibuat sesuai prosedur.
c.Substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan perundang – undangan yang berlaku.

7.Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang – Undang nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

.  “ Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”.
. “ Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.”

8.Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah keputusan apabila dihubungakan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara A quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan 
9.Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

III.PETITUM

Berdasarkan pada argument dan fakta – fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

1.Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya :

2.Menyatakan tindakan termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Pelanggaran Undang – Undang RI, Nomor 19 Tahun 2016, tentang  Informasi Dan Transaksi Elektronik, Pasal 48 ayat (1) dan atau ayat (3) jo Pasal 32 ayat (1) dan atau ayat (3) dan atau Pasal 322  KUHPidana, oleh  Sat Reskrim Unit Tipiter Polres Cimahi, adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat :

3.Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon :


4.Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon :

5.Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya:

6.Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku :

PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap perkara Aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim, Pengadilan Negeri Bale Bandung yamg memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil – adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya