Petitum Permohonan |
Muhammad Helmy wibowo sebagai PEMOHON
——————————–M E L A W A N——————————–
SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES CIMAHI sebagai TERMOHON
untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan
Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab UndangUndang Hukum Pidana oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Cimahi .
Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan,
penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundangundangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi
Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia,
yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada
Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan
menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau
penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan
perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan
penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal
terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80
KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan
penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar
lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi
tersangka.
b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1
angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP
diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini tentang:
1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo.
Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang
nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak
memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian
melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan
telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap
perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan
perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi
dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang
telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm)
Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum
progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan
perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum
dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum
dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek
normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan
bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hakhak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan
penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18
Mei 2011
2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal
27 november 2012
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal
15 Februari 2015
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal
26 Mei 2015
6. Dan lain sebagainya
f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015
memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan
penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014
sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan
Penyitaan;
g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014
tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan.
Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat
diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
sejak diucapkan.
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. PEMOHON AWALNYA DIUNDANG SEBAGAI SAKSI DENGAN BUKTI YANG ADA
1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK
mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek
praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional
bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai
minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan
inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan,
dan penyitaan.
2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti)
dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda
dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat
bukti.
3. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1
angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua
alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak
pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in
absentia),”
4. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon
tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang
ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini
menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan
bukti permulaan yang cukup itu.
5. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon di Undangan Klarifikasi penyidik Reserse Kriminal
umum Polda Jabar Nomor: B/4151/VIII/2022/Ditreskrimum sebagai Saksi atas Transaksi Jual
Beli Pelapor dengan Pemilik Tanah.
6. Pemohon Tidak pernah transaksi sebidang Tanah dengan Pelapor, Bukti Kwitansi uang
transaksi ditandatangani Pemilik tanah , surat pernyataan pemilik tanah Bahwa bukan
tanah Fasum Fasos ,dan Tidak adanya register Fasum fasos di Dinas PerumPerkim Pemda
Kab Bandung Barat .
7. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa
‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka
14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat
bukti sesuai Pasal 184 KUHAP maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan
oleh Termohon dalam hal ini Satuan Reserse Kriminal Polres Cimahi
8. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat
kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti
halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon Dengan demikian jelas tindakan
Termohon tanpa (dua) 2 alat bukti merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus
dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
2. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI
TERSANGKA
1. Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Cimahi kepada Pemohon hanya berdasar pada
keterangan Pelapor tanpa bukti transaksi Pemohon dengan Pelapor dan Bukti keterangan
Dinas Perumahan Permukiman Pemda Kab Bandung Barat atas Fasum Fasos , hal ini
berdasar pada surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan
Nomor SPGL/364/VI/2023RESKRIM 15 Juni 2023.
2. Pelapor Transaksi langsung dengan Pemilik tanah dengan berdasarkan Surat perjanjian
pengikatan jual beli dan kwitansi penerimaan uang oleh Pemilik tanah dan Tidak
menjual tanah Fasum Fasos berdasrkan keterangan Dinas Perumahan dan Permukiman
Pemda Kab Bandung Barat ,dan tidak bertransaksi dengan Pemohon.
3. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014
Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam
Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan
harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
4. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap
terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon
sebagai Tersangka dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Satuan Reserse Kriminal
Polres Cimahi kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, Termohon
selalu mendasarkan pada keterangan pelapor tanpa melihat Substansi jual beli tersebut
,keterangan Data Fasum Fasos Dinas Perum Perkim Pemkab Kab Bandung Barat dan
pelapor transaksi langsung dengan bersepakat kedua belah pihak dengan pemilik tanah
bukan dengan Pemohon.
5. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2
(dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan
nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas
hukum.
7. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANGWENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia
(HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah
menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah
menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara
Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta
mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses
penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi
Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya
untuk menyelesaikan.
2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih
diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri
serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang.
Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara
historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu
memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan
erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu
sendiri.
Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan
kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo
kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan
cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga
aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
3. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik
ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu,
maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum
Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum
delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip
‘legality’
4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang
melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan
wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak
sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang
yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan
kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau
alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan
wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah
“abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai
dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung
pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan
pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan
kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan
dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya
sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon
dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang
undangan yang berlaku.
6. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana
diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut
ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai
berikut :
“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat
(1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat
(1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
7. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan
dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan
Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar,
maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara
A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan
tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat
dibatalkan menurut hukum.
III. PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Bale Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus
perkara ini sebagai berikut :
1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan
Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana oleh Kepolisian Resor Cimahi Satuan Reserse Kriminal
adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan
tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh
Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah
penyidikan kepada Pemohon;
5. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang
berlaku.
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Bale Bandung yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan
tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung yang memeriksa
Permohonan A Quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). |